Penerapan Artificial
Intelligence untuk mendeteksi COVID-19 melalui suara batuk
Di penghujung tahun 2019, dunia
dihebohkan dengan munculnya virus mematikan yaitu COVID-19. Kemunculan virus
ini pertama kali di China, tepatnya di Wuhan. Penularan virus ini cukup cepat
sehingga menyebar ke hampir semua negara. Para peneliti telah mendeteksi virus
ini dengan beberapa cara, seperti tes cepat, tes antigen cepat, tes swab atau
tes PCR (Polymerase Chain Reaction), CT scan, dan GeNose. Pesatnya perkembangan
teknologi memudahkan para peneliti dari Massachusetts Institute of Technology
(MIT) untuk mendeteksi seseorang yang terinfeksi COVID-19 melalui suara batuk.
Teknologi ini menggunakan kecerdasan buatan.
COVID-19, sindrom pernapasan akut
parah coronavirus 2 (SARS-CoV-2), adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
SARS-CoV-2, sejenis coronavirus. Virus ini dapat menyerang gangguan sistem
pernafasan. Virus corona bisa menyerang siapa saja, seseorang yang terinfeksi
virus ini bisa mengalami demam, batuk, dan gangguan pernapasan. Virus ini
menyebar melalui droplet (tetesan kecil) dari hidung atau mulut saat batuk atau
bersin. Jika droplet terkena suatu benda, kemudian ada individu yang menyentuh
benda yang terkena droplet tersebut, kemudian orang tersebut menyentuh segitiga
wajah (mata, hidung, dan mulut), maka mengarah pada orang tersebut terinfeksi
COVID -19.
Seiring berjalannya waktu,
teknologi Artificial Intelligence (AI) telah dimanfaatkan di segala bidang,
termasuk di bidang kesehatan. Virus yang menjadi perhatian dunia yaitu COVID-19
yang dapat dideteksi menggunakan teknologi berbasis AI hanya dari suara batuk
oleh peneliti dari MIT. Awalnya, teknologi ini dikembangkan untuk mendeteksi
gejala pneumonia dan asma, tetapi ada algoritma serupa yang juga dapat
mendeteksi COVID-19 pada pasien tanpa gejala (OTG) dan gejala. Para peneliti
dari MIT mengembangkan beberapa jaringan saraf untuk membedakan perubahan suara
batuk yang diidentifikasi sebagai efek dari virus corona. AI memiliki tiga
lapisan yang dirancang oleh para peneliti dari MIT. Lapisan pertama adalah
algoritma dasar ResNet50 yang digunakan untuk mengukur kekuatan pita suara.
Lapisan kedua akan mendeteksi keadaan emosional yang mencerminkan penurunan
neurologis, seperti peningkatan frustrasi. Lapisan terakhir adalah teknologi
pendeteksi anomali pada sistem pernapasan. Penelitian ini sudah berlangsung
sejak April 2020, peneliti mengumpulkan sampel batuk sebanyak mungkin, baik
penderita COVID-19 yang simptomatik maupun asimptomatik. Website khusus yang
dibuat oleh peneliti dari MIT untuk peserta yang bersedia menyampaikan suara
batuknya saat mengisi survei kesehatan.
0 comments:
Posting Komentar